Tasikardi adalah nama sebuah tempat berupa danau atau waduk yg dibuat pada masa Kesultanan Banten. Danau buatan ini berbentuk melingkar dan di tengahnya terdapat tempat peristirahatan Sultan Banten. Saat ini Tasikardi dijadikan obyek wisata dan termasuk salah satu tempat bersejarah Kawasan Wisata Banten Lama.
Sebagai informasi, Kawasan Wisata Banten Lama ini terdiri dari beberapa lokasi dan bangunan wisata bersejarah masa Kesultanan Banten berdiri hingga pendudukan Belanda yakni pada abad ke-16 dan 17. Terdapat Mesjid Agung Banten yg cukup terkenal dgn menara khas-nya, Musium Situs Kepurbakalaan yang digunakan sebagai tempat menampunng sisa-sisa kejayaan Banten juga sering digunakan untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Beberapa runtuhan bangunan seperti Keraton Surosowan, Kaibon dan Benteng Speelwijk. Vihara Avalokitsvara dan Danau Tasikardi. Tempat-tempat tersebut berada pada lokasi yang berdekatan.
Jika mengunjungi Mesjid Agung Banten melalui Pasar Lama Serang, maka Tasikardi yg berada tepat di pinggir jalan raya ini adalah lokasi terakhir yg dilewati, yg kemudian bisa pulang atau keluar dari area wisata lewat Kramatwatu, 6km sebelah Barat Kota Serang. Tapi jika ingin mampir ke Tasikardi terlebih dahulu dari rangkaian perjalanan wisata sejarah di Banten ini, maka bisa langsung melalui jalur Kramatwatu dan berkeliling hingga pulang ke arah Pasar Lama Serang.
Tasikardi siang itu, tak banyak berubah sejak saya pertama kali mengunjunginya pada usia SD bersama keluarga dulu. Areanya yg berbentuk lingkaran dipagari kawat berduri. Di luarnya hamparan petak2 sawah dengan padi yg mungkin baru berumur bbrp minggu. Hijau, menyejukkan sejauh mata memandang. Air danau yg tidak pernah kering ataupun meluap, terlihat tenang dgn alur mengikuti arah angin. Pepohonan rindang yg berjajar pada kiri dan kanan jalan yg mengelilingi danau, mengubah tiupan angin jadi udara yg sejuk. Sesekali terlihat burung2 kecil sebesar burung gereja namun lebih gesit, terbang melintasi danau atau bertengger di pepohonan. Suara cuitannya melengkapi suasana. Sebuah Tempat bagi yg menginginkan ketenangan dan kenyamanan. Ga aneh memang, makanya dulu lokasi ini di bangun untuk peristirahatan keluarga keraton.
Dari sekian kali saya ke Tasikardi, baru siang itu saya mengamati dan menikmati semua suasananya. Biasanya saya mengeluh, apa enaknya ke Tasikardi? Sepi, bengong doang liatin air danau. Kalaupun niat ke sana, bersama keluarga atau teman harus menyiapkan acara seperti makan2, bakaran ikan dsb. Sebatas dapetin tempat ngumpul dan makan bahkan tidur yg enak lagi sepi, krn memang pengunjung Tasikardi tidak pernah ramai seperti halnya Wisata Pantai di Banten. Saya ga ingat kapan terakhir kali ke Tasikardi. Meski sudah 5thn saya tinggal di kecamatan yg sama dgn lokasi Tasikardi, baru siang itu saya mampir lagi.
Untuk bisa masuk Tasikardi yg buka tiap hari ini, pengunjung perlu merogoh kocek Rp2.500 per orang. Dan Tasikardi siang itu, ada sekitar 20 pengunjung yg datang. Satu keluarga jg bbrp pasangan duduk di atas tikar yg bisa disewa Rp3.000. Mereka mengambil tempat di pinggir2 danau dgn jarak yg saling berjauhan antara satu dgn lainnya. Saya ga tau brp tepatnya diameter dari danaunya, tapi yg jelas cukup luas. Di antara mereka, tepat di bibir danau terlihat bbrp lelaki dgn kailnya. Danau Tasikardi jg tempat mancing yg asyik. Saya bisa melihat hasil tangkapan yg cukup lumayan dari seorang pemancing yg berada tak jauh dari saya duduk. Ga tahu jenis ikan apa, tp seperti ikan mujair dgn besar paling kecil se-telapak tangan anak umur lima tahun.
Matahari yg disembunyikan awan tebal siang itu membuat suasana di Tasikardi semakin nyaman. Hingga tak terasa waktu berjalan cepat. Sebelum pulang saya disuguhi atraksi dari burung2 kecil yg terbang berkelompok di tengah danau, lalu sesekali secara bergantian mereka turun ke permukaan danau spt mematuki sesuatu. Mungkin ikan2 kecil untuk makan, saya tak tahu pasti. Yg pasti atraksi sebelum saya pulang itu melengkapi empat jam saya menikmati gambaran alam nyata yg tampak dimata jg dirasa dihati. Indah.
"Betah ya disini," ujarnya.
"Mo kemping sekalian?" gurau saya sambil senyum.
"Boleh ga ya kemah disini?" dia serius.
"Mending mancing aja deh. Kita liat nanti, siapa yg paling byk dapetin ikan," tantang saya yg jd ingin bernostalgia mancing.
"Boleh, mudah-mudahan minggu depan ga hujan ya..," harapnya yg sekaligus rencana.
Motornya melaju dgn kecepatan sedang. Seakan memberi kesempatan saya yg duduk di boncengan motornya, untuk menikmati pandangan hijaunya sawah di kiri dan kanan dalam perjalanan pulang sore itu. Hati saya tersenyum. Terima kasih Allah atas keindahan hari ini.***